Gambaran Sanitasi Buruk (https://dpupkp.bantulkab.go.id/berita/205-dampak-sanitasi-buruk)Pentingnya Akses dan Kualitas Kesehatan untuk Perempuan dan Orang Tua lewat efektifitas Peran Promotif dan Preventif Puskesmas
Kondisi Kesehatan orang tua (lansia), perempuan dan anak di Indonesia menurut data statistik semakin membutuhkan perhatian baik dari sisi kebijakan, kelembagaan maupun peran aktif komunitas. Peningkatan jumlah Lansia di Indonesia diprediksi meningkat hingga mencapai 9,9% di tahun 2020 dan setelahnya Indonesia akan memasuki ageing population dengan proporsi penduduk lansia di atas 10%. Kondisi ini menyebabkan tingkat ketergantungan dari kelompok usia non-produktif kepada kelompok usia produktif dari sisi ekonomi akan semakin tinggi. Di sisi yang lain dalam konteks akses dan pelayanan Kesehatan hal ini menunjukan tingkat ketergantungan dukungan dari keluarga dan komunitas terutama layanan Kesehatan tingkat dasar bagi lansia lewat posyandu dan puskesmas semakin dibutuhkan dan perlu disiapkan untuk memberikan akses pelayanan kepada lansia.
Di di sisi yang lain, masalah gagal gizi/tumbuh (stunting) juga semakin menjadi perhatian terutama di dalam kondisi pandemic Covid 19. Menurunnya tingat kunjungan Ibu Hamil dan Balita dalam memeriksakan Kesehatan serta gizi ke puskesmas dan posyandu dikhawatirkan akan meningkatkan resiko stunting. Tingkat stunting di Indonesia masih cukup tinggi. Pada tahun 2020 terdapat 30% yang berarti 30 dari 100 anak usia di bawah 1000 hari mengalami gagal tumbuh akibat kurangnya asupan gizi.
1. Pentingnya Kesehatan Lansia, Ibu dan Anak
Saat ini penduduk yang berusia di atas 60 tahun ke atas pada 11 negara anggota WHO (World Health Organization), di kawasan Asia Tenggara saja berjumlah 142 juta. Indonesia saat ini masuk 5 besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia dengan peningkatan yang cukup tinggi selama 30 tahun (1970-2020) yaitu dengan populasi 5,30 juta jiwa (sekitar 4,48%) pada tahun 1970, dan meningkat menjadi 18,10 juta jiwa pada tahun 2010 dan diprediksikan jumlah lanjut usia meningkat menjadi 27 juta (9,9%) pada tahun 2020. Indonesia akan menjadi negara dengan percepatan pertumbuhan lanjut usia yang sangat tinggi dalam kurun waktu 1990-2020 seiring dengan peningkatan usia harapan hidup dari 66,7 tahun menjadi 70,5 tahun. Dengan demikian Indonesia akan memasuki ageing population ditandai antar lain oleh persentase lanjut usia mencapai 10% pada tahun 2020. Seiring dengan hal itu juga, proporsi lanjut usia yang bekerja mencari nafkah adalah 71,91 % laki laki dan 41,41% perempuan; sebagian besar di sektor informal sehingga mengakibatkan rasio ketergantungan secara ekonomi sebesar 53,35, atau berarti terdapat 53 penduduk dalam kelompok usia yang tidak bekerja untuk setiap 100 penduduk yang bekerja pada 2045 .
Internasional Council of Active Ageing, (ICAA, 2013) menjabarkan kesejahteraan lanjut usia aktif dalam tujuh dimensi; spiritual, intelektual, fisik, professional/ vokasional, sosial kemasyarakatan, emosional, dan lingkungan. Melalui Rencana Aksi Nasional (RAN) Kesehatan Lanjut Usia (2016 – 2019) yang mengacu pada Strategi Lanjut Usia Sehat dari WHO SEARO 2013-2018, dikembangkan program melalui 6 startegi yang dijalankan, namun masih belum optimal dalam pelaksanaannya, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan R.I nomor 67 tahun 2015 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 79 Tahun 2014 tentang penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia di Pusat Kesehatan Masyarakat .
Penyakit terbanyak pada lanjut usia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 adalah hipertensi (57,6%), artritis (51,9%), Stroke (46,1%), masalah gigi dan mulut (19,1%), penyakit paru obstruktif menahun (8,6%) dan diabetes mellitus (4,8%). Sementara itu dengan bertambahnya usia, gangguan fungsional akan meningkat dengan ditunjukkan terjadinya disabilitas. Penyakit yang diderita lanjut usia pada dasarnya jarang dengan diagnosis tunggal, melainkan multidiagnosis (Sumber Riskesdas 2013). Sekitar 34,6% lanjut usia menderita satu penyakit, sekitar 28% dengan 2 (dua) penyakit, sekitar 14,6% dengan 3 (tiga) penyakit, sekitar 6,2% dengan 4 (empat) penyakit, sekitar 2,3% dengan 5 (lima) penyakit, sekitar 0,8% dengan 6 (enam) penyakit, dan sisanya dengan tujuh penyakit atau lebih . Hal ini menyebabkan adanya kondisi ketergantungan Lansia terhadap dukungan lingkungan sekitarnya, yaitu tetangga dan komunitas masyarakat di lingkungannya terutama untuk lansia yang tinggal sendiri.
Data Riskesdas tahun 2018 menunjukan, penyakit sroke ada 13,3 % mengalami ketergantungan total. Ada sebanyak 2,8% lansia mengalami cidera dengan ketergantungan total dan terjadi di rumah dan lingkungannya. Penyakit rematik 1,5% lanjut usia mengalami ketergantungan total. Karena berisiko mengalami disabilitas lansia membutuhkan perawatan jangka panjang/Longterm Care (LTC) dan biaya tinggi. Data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tahun 2017, biaya klaim BPJS adalah sebanyak 24% yang dipergunakan untuk kebutuhan perawatan kesehatan penduduk lanjut usia, padahal jumlah lanjut usia hanya sebesar 9% dari total penduduk Indonesia. Ini menunjukkan bahwa lanjut usia membutuhkan biaya perawatan kesehatan yang cukup besar sesuai dengan kondisi kesehatannya.
Di sisi yang lain, kondisi Kesehatan Ibu dan Anak juga semakin membutuhkan perhatian dan menjadi tantangan kebijakan dan pelayanan publik. Sejalan dengan tujuan pembangunan Indonesia 2020-2024, membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing, yaitu sumber daya manusia yang sehat dan cerdas adalah salah satunya dengan meningkatkan kualitas anak (Bappenas, 2020). Di tengah pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia, muncul seruan dari sejumlah perhimpunan profesi kesehatan untuk meningkatkan akses dan layanan kesehatan ibu dan anak (Pranita, 2020). Hal ini disebabkan kekhawatiran akan ancaman tidak tercapainya target penurunan gagal tumbuh (Stunting). Selama Covid 19 melanda, terjadi penurunan drastis kunjungan pemeriksaan kehamilan dan pelayanan kesehatan bagi bayi, anak umur di bawah lima tahun (balita), dan anak karena tutupnya sebagian besar posyandu di Indonesia. Padahal saat ini Indonesia masih bergelut dengan upaya untuk menurunkan kematian ibu dan bayi serta prevalensi stunting pada anak balita. Menurunnya kunjungan layanan kesehatan ibu dan anak terutama layanan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dikhawatirkan akan membawa dampak negatif terhadap pencapaian target pemerintah tersebut.
Percepatan penurunan stunting merupakan salah satu fokus pemerintah di bidang kesehatan. Hal ini sejalan dengan target global sebagaimana terdapat dalam Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) serta Global Nutrition Target 2025. Pada Target 2.2 dari TPB disebutkan bahwa pada tahun 2030, menghilangkan segala bentuk kekurangan gizi, termasuk pada tahun 2025 mencapai target yang disepakati secara internasional untuk anak pendek dan kurus di bawah umur 5 tahun, dan memenuhi kebutuhan gizi remaja perempuan, ibu hamil dan menyusui, serta manula. Adapun pada Global Nutrition Target 2025, diharapkan agar pada tahun 2025 terjadi penurunan jumlah anak balita yang stunting sebanyak 40 persen .
Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, ditargetkan angka prevalensi stunting pada anak balita pada tahun 2024 sebesar 14,00 persen. Pada tahun 2019, hasil dari integrasi Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2019 dan Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2019 menunjukkan prevalensi stunting pada anak balita Indonesia tahun 2019 sebesar 27,67 persen dan angka Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yaitu sebesar 30,8 persen. Diharapkan target 14,00 persen pada tahun 2024 ini dapat tercapai.
2. Pentingnya Peran Preventif Promotif Puskesmas
Untuk memberikan akses dan layanan Kesehatan yang berkualitas di tingkat komunitas, peran fasilitas layanan tingkat dasar atau pertama (FKTP) sangat penting dan diperlukan. FKTP diharapkan selain memberikan layanan pengobatan tingkat pertama kepada masyarakat yang membutuhkan juga diharapkan dapat memberikan peningkatan pemahaman bagi warga agar dapat mencegah terjadinya perluasan penularan penyakit menular termasuk virus Covid 19 yang sedang melanda. Selain memberikan peningkatan pemahaman kepada masyarakat terkait pencegahan penyakit, FKTP juga berfungsi untuk memberikan pemahaman tentang bagaiman meningkatkan kualitas sanitasi dan standar gizi masyarakat agar dapat kuat dan kebal terhadap penyakit, juga bagaimana mengkondisikan lingkungan yang sehat dan berkualitas.
Pembangunan kesehatan saat ini menghadapi tantangan pemerataan dan disparitas terutama pelayanan kesehatan antar daerah dan antar kelompok pendapatan. Akses terhadap pelayanan kesehatan primer masih terbatas terutama di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Kendala geografis menyebabkan keterbatasan akses pelayanan kesehatan di banyak daerah di Indonesia. Kualitas pelayanan juga belum optimal karena banyak fasilitas kesehatan dasar yang belum memenuhi standar kesiapan pelayanan dan ketiadaan standar guideline pelayanan kesehatan. Puskesmas yang merupakan fasilitas kesehatan tingkat pertama menjadi ujung tombak dalam upaya menurunkan kesenjangan pembangunan kesehatan di seluruh wilayah. Puskesmas didukung dengan Posyandu, pernah tercatat sebagai keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan cakupan KB, imunisasi, dan gizi balita. Di era desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan dan pembinaan Puskesmas diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Sejak itu, perkembangan Puskesmas bervariasi tergantung pada komitmen dan kemampuan fiskal daerah.
Permasalahan yang paling menonjol adalah kekosongan atau kekurangan SDM kesehatan. Sejak desentralisasi pula, sebagian besar belanja kesehatan daerah adalah untuk belanja pelayanan kuratif (UKP), belanja barang modal dan belanja pegawai. Sementara, belanja untuk pelayanan kesehatan masyarakat sangat kecil. Di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Puskesmas mengelola dana kapitasi yang penggunaannya untuk pelayanan upaya kesehatan perseorangan (UKP). Hal ini menyebabkan banyak Puskesmas yang orientasinya menjadi dominan pelayanan kesehatan perorangan (pelayanan kuratif) dibandingkan tugas utamanya sebagai motor upaya kesehatan masyarakat (UKM). Di sisi lain, kebijakan moratorium pengangkatan pegawai negeri sipil menyebabkan kekosongan atau kekurangan tenaga kesehatan terutama tenaga kesehatan masyarakat hampir di seluruh wilayah. Dengan trend paradigma sehat yang saat ini terjadi, peran Puskesmas dalam upaya promotif dan preventif perlu diperkuat.
Kajian Bappenas tentang Penguatan Pelayanan tingkat dasar di tahun 2018 menyebutkan bahwa beberapa negara mengakui pentingnya peranan pelayanan kesehatan dasar untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat dan telah melakukan upaya untuk mereformasi pelayanan kesehatan dasar. Di Turki, reformasi kesehatan mulai dilakukan pada tahun 2003 dan membawa perubahan signifikan dalam pelayanan kesehatan primer (Cevik, Sozmen, Kilic, 2017). Negara Tiongkok dalam Roadmap Kesehatan Nasional Tiongkok 2030 menekankan pentingnya peranan pelayanan kesehatan primer yang harus didukung komitmen politik untuk memperkuat sistem pelayanan kesehatan dasar (Xi Li dkk, 2017). Thailand memiliki derajat kesehatan penduduk yang baik dengan biaya relatif rendah karena cakupan pelayanan kesehatan primer yang komprehensif (Pongpisut Jongudomsuk, dkk., 2015).
Menurut WHO tahun 2018 yang dikutip Bappenas, Pelayanan kesehatan dasar adalah cara efektif untuk mendorong 9 hal vital terkait kesehatan yang juga berkaitan dengan faktor-faktor non kesehatan terutam di tingkat lingkungan komunitas, yaitu;
1) Mengurangi disparitas sosial dan eksklusi dalam hal Kesehatan
2) Meningkatkan pemerataan;
3) Memenuhi kebutuhan dan harapan penduduk
4) Mengurangi kemiskinan;
5) Mengintegrasikan kesehatan dengan sektor-sektor lainnya;
6) Mendorong kepemimpinan yang mengutamakan kerja sama dan dialog;
7) Meningkatkan efektivitas anggaran kesehatan;
8) Meningkatkan akuntabilitas fasilitas pelayanan kesehatan;
9) Meningkatkan akuntabilitas penyelenggara Negara.
Di dalam Deklarasi Alma Ata (1978), terdapat lima (5) prinsip dasar pemenuhan pelayanan kesehatan primer, yaitu mencakup;
1) Pemerataan upaya Kesehatan
2) Penekanan pada upaya preventif;
3) Penggunaan teknologi tepat guna dalam upaya kesehatan;
4) Peran serta masyarakat dalam semangat kemandirian;
5) kerjasama lintas sektoral dalam membangun kesehatan.
Selain itu, empat pilar reformasi pelayanan kesehatan dasar yang telah dicetuskan WHO (2008) terdiri dari:
1. Reformasi pembiayaan kesehatan Pembiayaan pemerintah lebih diarahkan pada upaya kesehatan masyarakat (public goods) dan pelayanan kesehatan bagi orang miskin.
2. Reformasi kebijakan kesehatan Kebijakan kesehatan harus berbasis fakta (evidence based public health policy).
3. Reformasi kepemimpinan kesehatan Kepemimpinan kesehatan harus bersifat inklusif, partisipatif, dan mampu menggerakkan lintas sektor melalui kompetensi advokasi.
4. Reformasi pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan dasar harus mengembangkan sistem yang kokoh dalam konteks Puskesmas dengan jejaringnya serta dengan suprasistemnya (Dinkes kabupaten/kota, dan RS kabupaten/kota).
Dalam Sistem Kesehatan Nasional (Perpres No.72/2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional), pendekatan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar (primary health care) meliputi:
1) Cakupan pelayanan kesehatan yang adil dan merata;
2) Pemberian pelayanan kesehatan berkualitas yang berpihak kepada kepentingan dan harapan rakyat;
3) Kebijakan kesehatan masyarakat untuk meningkatkan dan melindungi kesehatan masyarakat, kepemimpinan, serta profesionalisme dalam pembangunan kesehatan.
Technical Brief WHO tahun 2008 menyatakan bahwa jenis-jenis pelayanan tersebut ditetapkan atas dasar kondisi epidemiologi suatu negara. WHO menyarankan bahwa jenis pelayanan tersebut harus sudah terbukti cost effective, affordable, dan praktis untuk dilaksanakan. Di Indonesia, jenis pelayanan dalam pelayanan kesehatan dasar mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masalah kesehatan. Terdapat dua ketentuan yang menetapkan jenis-jenis pelayanan dasar, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan 43/2014 tentang Standar Pelayanan Minimum dan Peraturan Menteri Kesehatan 75/2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jenis-jenis pelayanan kesehatan dasar tersebut memerlukan pelayanan promotif, preventif, skrining, kuratif, dan rehabilitatif yang harus diberikan secara komprehensif dan holistik baik kepada kelompok masyarakat maupun individu, tidak bisa parsial atau upaya kesehatan masyarakat/UKM saja ataupun upaya kesehatan perorangan/UKP saja.
Puskesmas yang dikembangkan sejak tahun 1968 merupakan fasilitas kesehatan terdepan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar. Sampai tahun 2000, Puskesmas berada langsung di bawah pembinaan Departemen Kesehatan. Puskesmas bersama Posyandu adalah kunci sukses Indonesia dalam Program KB, imunisasi, perbaikan gizi balita dan pemberantasan diare. Sejak era desentralisasi tahun 2000, Puskesmas diserahkan kepada pemerintah daerah.
Pengembangan dan pembinaan Puskesmas bervariasi dan tergantung pada komitmen dan kapasitas daerah. Sejak itu, kinerja Puskesmas mulai menurun yang ditandai dengan contraceptive prevalence rate (CPR) yang menurun, maternal mortality ratio (MMR) dan kurang gizi balita yang stagnan. Sejak itu pula banyak Puskesmas tidak mempunyai SDM sesuai standar. Kemudian lewat Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan pada tahun 2014, Puskesmas ditetapkan menjadi provider (FKTP) BPJS. Sejak itu pula tenaga dan waktu staf Puskesmas tersita untuk melaksanakan UKP bagi peserta BPJS, sedangkan kegiatan UKM terabaikan .
Padahal banyak jenis pelayanan kesehatan dasar merupakan UKM, diselenggarakan di tengah masyarakat atau di luar gedung (Posyandu, pemberantasan vektor, sanitasi lingkungan, dan promosi kesehatan). Sementara itu, tantangan pembangunan kesehatan terus meningkat, ditandai dengan transisi epidemiologi yaitu meningkatnya penyakit tidak menular, sementara beberapa penyakit menular belum teratasi dengan baik seperti tuberkulosis, malaria, HIV/AIDS, DBD, filariasis, diare, ISPA, dan kusta. Pelayanan kesehatan dasar seharusnya masih tetap relevan untuk menghadapi tantangantantangan tersebut.
Puskesmas memiliki tugas pokok dan fungsi utama yaitu membina kesehatan wilayah, melaksanakan UKM dan UKP, serta manajemen Puskesmas. Sebagai pembina kesehatan wilayah, Puskesmas berkoordinasi dengan klinik swasta yang melaksanakan pelayanan kesehatan dasar secara parsial (utamanya UKP). Sejak era desentralisasi, banyak Puskemas tidak memenuhi standar, terutama tenaga UKM. Hal ini diperparah dengan adanya kebijakan moratorium pengangkatan PNS, kecuali dokter, perawat, dan bidan. Kemudian, sejak JKN, beban kerja Puskesmas untuk UKP meningkat signifikan. Fungsi Puskesmas bergeser dan tereduksi menjadi “klinik pengobatan”. Dampak perubahan fungsi Puskesmas terhadap kinerja UKM cukup memprihatinkan, seperti terlihat pada indikator program-program UKM (cakupan imunisasi dan ASI ekslusif yang menurun, CPR KB dan CDR TB stagnan, serta penurunan stunting pada balita tidak signifikan). Di samping masalah SDM dan reduksi fungsi, menurut kajian Bappenas, masalah lainnya adalah (i) obat dan alat kesehatan; (ii) pembiayaan; dan (iii) beban kerja administrasi dan manajemen.
Jumlah Puskesmas sampai dengan tahun 2017 adalah 9.767 Puskesmas, 2.277 Puskesmas terletak di daerah terpencil dan sangat terpencil. Satu-satunya fasilitas pelayanan primer yang menyelenggarakan sekaligus pelayanan kesehatan masyarakat (PKM) dan pelayanan kesehatan perorangan (PKP) adalah Puskesmas. Uraian tersebut menunjukkan urgensi penguatan pelayanan kesehatan dasar dan sekaligus Puskesmas sebagai penyedia pelayanan kesehatan dasar tersebut.
Dengan demikian, fungsi peran promotif preventif Puskesmas sebagai pelayanan dasar di tingkat komunitas (kecamatan) beserta turunannya seperti posyandu anak dan posyandu lansia semakin diperlukan untuk memberikan pemahaman dan pencerahan di tengah masyarakat terkait pencegahan penyakit, pola hidup sehat dan kualitas sanitasi lingkungan yang mendukung proses tersebut.
Dengan adanya upaya promotif-preventif yang dilakukan maka secara ekonomi dan kebijakan, program Kesehatan masyarakat akan semakin efektif karena langsung dirasakan manfaatnya di tingkat masyarakat dan juga meningkatkan partisipasi publik yang dapat turut serta aktif ikut mengsukseskan kegiatan promosi dan pencegahan untuk mendorong peningkatan Kesehatan di tingkat komunitas. Di sisi yang lain, adanya kegiatan promotive preventive juga dapat meningkatkan tingkat dukungan masyarakat langsung terhadap kelompo rentan terutama bagi dukungan Kesehatan Ibu, anak dan warga lanjut usia (lansia).***
Iya bener sekali kita harus berpartisipasi dalam kegiatan promotive preventive
ReplyDeleteLanjut dan Sukses untuk Nara Integrita
ReplyDeleteLanjutkan dan sukses untuk Nara Integrita
ReplyDelete